DANAU TOBA – Kapan terakhir Anda
berjalan-jalan ke Danau Toba atau Sumatera Utara? Sudah sempat merasakan
masakan yang spesial ini? Dimakan mentah namun tanpa bau amis
sedikitpun. Kalau di Peru bisa menikmati Ceviche makanan khas unggulan
negara itu, dimana proses memasaknya tidak menggunakan api. Ikan kakap
merah mentah atau bisa juga scallop, dan ikan lainnya yang berserat
besar berdaging medium yang direndam air jeruk lemon untuk membuat
daging ikan matang. Mirip seperti salad ikan dengan rasa segar?
Di Tano Batak jenis masakan ikan tanpa dimasak itu juga
bisa kita temui. Namanya, Naniura. Bedanya kalau ceviche disajikan
dengan irisan bawang merah besar di atasnya; nah Naniura ini disiram
dengan bumbu halus berwarna kuning. “Anda pasti penasaran kan? Gimana
bau amisnya? Gimana rasanya? You mesti coba!” kata Vita Datau, Ketua Tim
Percepatan Wisata Kuliner dan Belanja Kemenpar, di Jakarta.
Naniura adalah salah satu makanan khas Batak Tapanuli
Utara, yang bisa ditemui di Danau Toba, Medan dan Pematang Siantar. Jika
dahulu kala naniura hanya dihidangkan untuk raja-raja Batak, sekarang
makanan khas ini sudah bisa dinikmati oleh banyak orang. Bahkan bisa
ditemui di restoran tertentu di sana. “Di Balige kita perlu memesannya,
karena persiapan dan proses pembuatannya membutuhkan waktu, juga harus
dari ikan yang segar,” tambah Vita yang juga Ketua Akademi Gastronomi
Indonesia itu.
Proses pembuatannya cukup menarik, ikan mas mentah yang
dalam bahasa aslinya disebut Dekke dibersihkan duri dan lendirnya dulu.
Lalu dimatangkan dengan cara merendamnya dengan air asam Jungga atau
lebih umum dikenal sebagai jeruk purut.
Proses ini membuat kualitas protein di ikan mas menjadi
lebih utuh karena tidak terkena api sama sekali. Tidak direbus, tidak
digoreng, tidak dibakar, tidak diasap, tidak kena panas api sama sekali.
Ikan yang digunakan sebaiknya berukuran kecil agar
matangnya merata dan masih hidup agar tetap segar. Membutuhkan waktu 2-3
jam untuk memasak Nani Ura yang juga menjadi makanan wajib di
acara-acara adat Batak. Ikan dianggap siap makan apabila daging ikan
sudah kenyal dan mudah disobek.
Bumbu siram yang terdiri dari gabungan 10 macam bumbu
termasuk andaliman, kecombrang mempunyai citarasa gurih yang kuat dan
harum yang khas membuat selera makan kita tergoda untuk segera
mencicipi. Texture kenyal dari daging ikan yang sudah meresap asam
jungga menghadirkan sensasi tersendiri.
Beda dengan arsik makanan khas Batak lainnya, Dekke di
Naniura ini memiliki tekstur kenyal namun mudah dikunyah dan dimakan
bersama bumbu yang melumuri seluruh badan ikan mas itu. Menariknya, ikan
yang digunakan juga harus ikan air tawar, pas dengan Danau Toba yang
airnya tawar.
Melihat dari komposisi bumbu Naniura, makanan ini sangat
bermanfaat bagi kesehatan. Terbayang oleh saya mengapa orang-orang
tua kita lebih panjang umur; ini karena mereka mempunyai kebiasaan
makan makanan yang baik. Menggunakan bahan-bahan yang segar. Kebiasaan
ini yang harus diturunkan kekeluarga. Memperkenalkan anak anak kita cara
makan makanan yang baik yang biasanya ada di makanan tradisional. Lagi
lagi kearifan local tidak pernah salah. Cara makan dan jenis makanan di
suatu daerah ditentukan oleh kondisi alam sekitar. Itulah salah satu
prinsip gastronomi yang terkenal dengan sebutan otentiksitas.
“Artinya kita tidak akan pernah bertemu dengan rasa asli
yang otentik jika tidak langsung berkunjung ke daerah asalnya. Naniura
tempatnya, tentu saja Sumatera Utara,” katanya.
Menpar Arief Yahya menyebut jenis makanan naniura ini
adalah khas Batak, dan hanya bisa ditemukan di budaya makan Tapanuli.
Tidak semua tempat di tanah air punya jenis makanan khas seperti Danau
Toba ini. “Karena itu, sayang kalau tidak mencicipi makanan khas itu.
Kalau di Eropa ada Samlon, yang dimakan ala sushi, di Batak ada Naniura,
yang juga fresh, tidak dimatangkan dengan api. Penasaran kan? Inilah
produk budaya kuliner local yang sangat khas di Batak,” ujar Arief
Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Kuliner, kata Arief Yahya, adalah salah satu cabang dari
wisata berbasis budaya. Kuliner itu tidak bisa dipisahkan dari akar
budayanya. Mengapa orang Batak menciptakan jenis makanan Naniura seperti
itu, juga melalui perjalanan panjang yang cocok dengan karakter budaya
setempat. Ada istilah, asam di gunung, garam di laut, berjumpa dalam
belanga.
“Perbedaan budaya itu selalu punya satu hal yang sama, salah
satunya adalah musik dan kuliner. Enak dan nyaman itu universal,”kata
Arief Yahya.(*)
sumber : wonderful.radarbogor
uploader : Lidia
0 comments:
Post a Comment