Festival Lima Gunung ini diprakarsai oleh paguyuban warga yang mendiami dusun wilayah Gunung Andong, Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Perbukitan Manoreh, yang sebagian besar menyambung hidup dengan bertani sambil berkesenian di dusunnya masing-masing. Baik ornamen maupun umbul-umbul FLG yang semua terbuat dari hasil alam — seperti daun pisang kering — berjejer rapi berupa bendera, janur, dedaunan, dan jerami. Demikian kreatif para seniman yang ambil bagian dalam festival ini.
Sesaat sebelum acara dimulai, dari kejauhan muncul beberapa orang yang membawa sesajen keliling dusun, pertanda acara akan dimulai. Aku pun melipir ke bawah pepohonan cengkeh yang menaungi Dusun Warangan sebab mentari makin garang menyinari Bumi.
Malam telah berangsur dini hari di dusun kecil di Lereng Gunung Merbabu itu. Dalam terpaan udara gunung yang dingin, sejumlah orang tampak masih duduk bergerombol sambil berbincang dan sesekali tertawa di rumah Kepala Dusun Keron, Magelang. Mungkin sudah 3-4 jam mereka berbincang di sana.
“Minumnya tambah lagi, Pak, Mas, Mbak? Teh atau kopi?” tawar salah seorang penghuni rumah dengan ramah kepada tamu-tamunya yang hingga dini hari itu masih renyah bercengkerama, Sabtu (23/7).
Ada puluhan rumah di Dusun Keron yang sejak tanggal 21 Juli hingga 24 Juli 2016 ramai diinapi secara gratis oleh tamu-tamu dari luar desa. Tamu-tamu itu datang dari berbagai tempat. Ada yang dari Magelang, Yogyakarta, Solo, Sukoharjo, Jakarta, Bandung, hingga Palembang. Sejumlah turis mancanegara juga tampak. Sama, mereka juga menginap dan berbaur di rumah-rumah warga.
Di dusun yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut itu, mereka mempunyai tujuan sama. Apalagi kalau tidak menikmati pesta seni orang-orang gunung; Festival Lima Gunung. Festival di Dusun Keron ini merupakan pesta tahunan yang ke-15.
Sebuah festival yang digelar oleh komunitas seniman petani yang berasal dari desa-desa di lima lereng gunung yang mengelilingi Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Karena itu kumpulan pelaku seni ini menyebut dirinya Komunitas Lima Gunung.
Ini festival swadaya. Tak ada spanduk, baliho, umbul-umbul, maupun banner raksasa instansi. Apalagi promosi dari perusahaan barang dan jasa layaknya sebuah festival seni orang-orang kota. Di tengah kesibukan menggarap ladang, bekerja di sawah, ataupun mencari berjumput rumput untuk ternak, para petani lah yang sibuk menyiapkan semua itu.
Ada 50 kelompok seni yang tampil selama empat hari. Mulai tarian dan musik, baik tradisional maupun kontemporer, seni instalasi alam, kirab budaya, seni rupa, prosesi ritual, hingga pidato kebudayaan. Pementas tak hanya kelompok-kelompok seni dari desa-desa di Magelang, tapi juga dari sejumlah kampus dan grup kesenian dari Semarang, Yogyakarta, Solo, bahkan Bandung.
Pementasan dipusatkan di dua panggung sederhana berkonstruksi bambu, kayu, dan berhias jerami. Deretan tempat duduk dari bambu dihias dengan anyaman daun kelapa digelar di depan panggung. Sebuah gunungan setinggi 15 meter berbahan bambu dan berhias jerami dipasang di belakangnya. Di beberapa sudut dusun dirangkai penjor-penjor bambu dan jerami.
Di teras panggung diletakkan sebuah instalasi berupa rangkaian singkong, yang merupakan simbol representasi tema festival kali ini, Pala Kependem, yang artinya segala jenis tanaman ubi-ubian yang bertunas dan tumbuh dari dalam tanah.
“Ubi adalah tanaman asli nusantara. Dia menandakan tanah kita yang subur. Memberi penghidupan dan membentuk peradaban kita sejak dahulu kala,” ujar Sutanto Mendut (62), budayawan Magelang, sekaligus pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung.
Dan begitulah, selama empat hari itu, orang-orang gunung berpesta. Ribuan orang setiap hari memadat di depan panggung, menyemut di jalan-jalan kampung. Festival ini bukanlah parade pentas untuk mengejar yang teragung. Bukan pula layaknya sebuah reality show di televisi untuk menghadirkan siapa pementas yang paling memukau.
Penampil-penampil dari gunung menyuguhkan seni apa yang mereka suka, bisa, dan biasa unjukkan. Ada keindahan, kekompakan, dan semangat menghadirkan yang terbaik yang mereka mampu, namun tak sedikit pula kesalahan-kesalahan.
“Di sini salah itu biasa. Justru itu bisa menjadi hiburan tersendiri bagi penonton. Salah sekali nggak sengaja, salah dua kali biasa, salah terus berarti sudah hobi…ha..ha..ha,” kata Sekartaji, seorang seniman asal Yogyakarta yang turut berpentas di festival ini.
Romantisme Dusun
Sementara, orang-orang kota berdatangan menikmati romantisme, keramahan, dan kebersahajaan desa di antara keriuhan pentas kesenian. Mereka bertemu dan berinteraksi dalam sebuah momen yang lebih mirip sebagai jambore.
Keramahan desa menyambut orang-orang luar itu layaknya saudara. Kehangatan yang apa adanya. Membuka lebar-lebar pintu rumah mereka untuk diinapi. Menghela tudung nasi dengan lauk pauk terbaik mereka untuk orang-orang yang sebelumnya, bahkan, nama dan wajahnya tak pernah mereka ketahui.
Mereka, tamu-tamu dan tuan rumah itu, bercengkrama di beranda sambil mengudap ubi rebus dan meminum bercangkir-cangkir kopi atau teh layaknya kawan lama yang berpuluh purnama tak bersua. Menyesap suka dalam balutan udara dingin gunung yang meraung.
Dodog Soesena, seorang pengajar seni murni dari Universitas Utrecht, Belanda, yang selama tiga hari mengikuti festival ini, mengatakan, seumur hidupnya mendalami dan meneliti seni, baru kali tersebut melihat bagaimana warga dan seni begitu saling menghidupi. Dia mengaku terharu.
“Setahu saya, belum ada di tempat lain hal seperti ini. Penuh kesedarhanaan, orang-orang dengan raut suka membuat festival dan bergembira bersama. Menyambut tamu-tamu dengan segala keramahan yang mereka bisa,” ungkap Dodog.
Ya, ini adalah Festival Woodstock versi orang-orang gunung yang nyeni. Di mana, pentas seni adalah satu hal, sementara pertemuan, interaksi, tawa, dan gembira bersama di antara orang-orang, yang bahkan, tak saling kenal, adalah hal lain yang menjadi atmosfirnya. Ini bukan pesta seni yang megah, tapi adiluhung dengan sendirinya.
Jose Rizal Manua dengan
Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia dan mendapat banyak
penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan, pendongeng PM Toh
dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World Mime Organisation,
penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari kontemporer,penari
topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani Sawitri, Gita
Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang potehi, wayang
pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan sebagainya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Jose Rizal Manua dengan
Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia dan mendapat banyak
penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan, pendongeng PM Toh
dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World Mime Organisation,
penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari kontemporer,penari
topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani Sawitri, Gita
Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang potehi, wayang
pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan sebagainya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Jangan kan anak-anak,
orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak
dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas. Tak perlu kisah yang
berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus mendapat pengetahuan
secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas beraksi? Kalau belum
sayang sekali
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Jangan kan anak-anak,
orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak
dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas. Tak perlu kisah yang
berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus mendapat pengetahuan
secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas beraksi? Kalau belum
sayang sekali
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Jangan kan anak-anak,
orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak
dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas. Tak perlu kisah yang
berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus mendapat pengetahuan
secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas beraksi? Kalau belum
sayang sekali
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
KALAU mendengar
festival budaya, pasti yang terbayang masa lampau yang tidak modern,
bikin kening berkerut, dan berat. Akan tetapi, tidak dengan Gunungan
International Mask and Puppets Festival atau lebih dikenal Festival
Gunungan yang baru-baru ini diadakan di Bandung. Tepatnya di Balepare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung sejak tanggal 22-24
Mei 2015.
Topeng Ireng dari Magelang Meramaikan Festival Gunungan (Foto: Alee)
Festival yang telah diadakan untuk keempat kalinya ini, selain
mengadakan pameran juga pertunjukan kesenian wayang dan topeng dari
berbagai daerah di Indonesia serta pelaku seni seperti Aat Soeratin,
budayawan yang aktif di berbagai bidang seni sejak tahun 70-an.
Aat yang biasa dipanggil Abah Aat adalah pituin Sunda yang hingga kini
aktif mengisi panggung kesenian di tahan air. Pendiri Depot Kreasi Seni
Bandung yang melahirkan nama-nama besar seperti almarhum Harry Roesli
dan Didi Petet. Sekarang bergiat di Rumah Nusantara.
Jose Rizal Manua dengan Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia
dan mendapat banyak penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan,
pendongeng PM Toh dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World
Mime Organisation, penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari
kontemporer,penari topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani
Sawitri, Gita Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang
potehi, wayang pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan
sebagainya.
Ada dua ruang pameran, ruang kreasi, dan tiga panggung yang digunakan
untuk meramaikan festival. Panggung Bale, Panggung Pare, dan Panggung
Eksebisi (Exhibition Hall). Tiap panggung diisi secara bergantian,
sehingga tiap berganti sesi pertunjukan pengunjung harus berpindah
panggung. Bikin heboh dan tidak membosankan.
14325220481791067024
14325220481791067024
Pameran Wayang di Salah Satu Ruang Pamer (Foto: Alee)
Ramah Keluarga
Saya datang ke sana pada hari terakhir. Suasana festival terasa sekali
sangat ramah keluarga. Pagi-pagi di pintu masuk disuguhi pertunjukan
teater dari Majelis Sastra Bandung. Setelah itu Ria Enes di panggung
eksebisi bersama boneka Suzan-nya menyapa para pengunjung.
Ria Enes seorang penyiar radio, pembawa acara, dan pendidik yang popoler
sebagai penyanyi bersama boneka Suzannya pada era 90-an. Album-albumnya
seperti Si Kodok, Kodok dan Semut, Suzan Punya Cita-cita, dan
album-album lainnya meledak di pasaran hingga mendapat beberapa
penghargaan.
14325214241708299905
14325214241708299905
Ria Enes dan Suzan Sedang Mendongeng (Foto: Alee)
Dengan gaya kenesnya, Kak Ria menyapa para pengunjung yang sudah duduk
lesehan di depan panggung. Kursi yang disediakan panitia di panggung
bahkan dibiarkan begitu saja oleh Kak Ria. Semata-mata karena Kak Ria
ingin bisa lebih dekat dengan pengunjung.
“Siapa yang masih ingat sama Boneka Suzan?” tanya Kak Ria mencoba
mengenalkan boneka yang ke mana-mana selalu bersamanya.
Tidak ada yang mengangkat tangan kecuali para orang tua yang seangkatan
dengan masa keemasan Boneka Suzan. Namun Kak Ria tidak menyerah. Dia
mengambil Suzan dari asistennya lalu mengajak ngobrol Suzan.
Suasana yang tadinya agak dingin mendadak bertabur tawa. Anak-anak
terpikat dengan celotehan khas Suzan yang polos, lugu, dan kadang-kadang
nggemesin.
Suasana makin hangat saat Kak Ria dan Suzan mendongeng cerita rakyat Aji
Saka yang memiliki kekuatan pada surbannya. Dongeng ditutup dengan lagu
Suzan Punya Cita-Cita yang diikuti dengan mudah oleh anak-akan.
Acara dilanjutkan di Panggung Bale. Ada pertunjukan Wayang Kancil yang
diisi anak-anak usia Sekolah Dasar dari Padepokan Sarotama. Dalang,
sinden, dan penambuh gendingnya anak-anak, kecuali penabuh gendang.
1432521544797127229
1432521544797127229
Dalang Cilik Memainkan Wayang Kancil (Foto: Alee0
Padepokan Sarotama bermarkas di Gunung Sari, desa kecil di tepian Sungai
Bengawan Solo. Kurang lebih 2 km di sebelah timur Kota Solo. Berkiprah
di bidang seni karawitan dan pedalangan anak sejak tahun 1983. Padepokan
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar di sana.
Acara dilanjutkan di Panggung Pare. I Made Sidia menari beberapa tarian
bali dengan sangat menarik dan menggelitik karena dibumbui dengan
beberapa teatrikal. Nani Sawitri dengan tarian Topeng Losarinya yang
benar-benar memukau.
Terakhir, seorang penari berkebangsaan Belanda membawakan Tari Petani
yang juga tak kalah membuat gelitik dan memukau pengunjung. Anouk Wilke
sendiri lahir dan besar di Belanda. Sejak usia 12 tahun mendalami tari,
terutama balet. Sekolah di akademi tari Lucia Marthas dan tahun 2009
mendapat beasiswa di Institute Seni Indonesia di Yogyakarta. Dengan
keahliannya, Anouk menciptakan koreografi untuk nusantara berjudul
Tumbuh, Bejowo, Debu, dan sebagainya.
1432521663147269881
1432521663147269881
Nani Sawitri Memukau Pengunjung dengan Tari Topeng Losarinya (Foto:
Alee)
1432521727613235087
1432521727613235087
I Made Sidia Berkomukasi dengan Pengunjung (Foto: Alee)
1432521822737728994
1432521822737728994
Anouk Wilke Sangat Luwes Menari (Foto: Alee0
Setelah istirahat pengunjung mengerumuni Panggung Bale. Tarian Topeng
Ireng menghentak suasana yang mulai redup. Topeng Ireng ditarikan oleh
Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Tarian yang mirip tarian indian
tersebut mampu membuat pengunjung berdecak dan ikut bersorak-sorai
menginguti gerakan para penari yang energik.
Acara sore itu ditutup oleh Thomas Herford. Pendiri teater boneka
keliling dengan nama Kabare Pupala. Artis panggung asal German ini
sempat mengikuti berbagai festival boneka international, teater, dan
festival anak-anak di German, Meksiko, Spanyol, Hungaria, Turki, dan
Taiwan.
Apa yang membuat Kabare Pupala dengan Thomas Herford menarik semua
pengunjung? Keahlian dalam berteater dengan boneka. Tahu
panggung-panggung boneka yang memainkan boneka dengan tali? Bedanya,
jika panggung boneka biasanya dalam sebuah kotak, Thomas memainkannya
langsung di panggung terbuka sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan
pengunjung.
1432521946765949349
1432521946765949349
Thomas Herford Sedang Memainkan Boneka Tikusnya (Foto: Alee)
Jangan kan anak-anak, orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya
tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas.
Tak perlu kisah yang berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus
mendapat pengetahuan secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas
beraksi? Kalau belum sayang sekali.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
KALAU mendengar
festival budaya, pasti yang terbayang masa lampau yang tidak modern,
bikin kening berkerut, dan berat. Akan tetapi, tidak dengan Gunungan
International Mask and Puppets Festival atau lebih dikenal Festival
Gunungan yang baru-baru ini diadakan di Bandung. Tepatnya di Balepare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung sejak tanggal 22-24
Mei 2015.
Topeng Ireng dari Magelang Meramaikan Festival Gunungan (Foto: Alee)
Festival yang telah diadakan untuk keempat kalinya ini, selain
mengadakan pameran juga pertunjukan kesenian wayang dan topeng dari
berbagai daerah di Indonesia serta pelaku seni seperti Aat Soeratin,
budayawan yang aktif di berbagai bidang seni sejak tahun 70-an.
Aat yang biasa dipanggil Abah Aat adalah pituin Sunda yang hingga kini
aktif mengisi panggung kesenian di tahan air. Pendiri Depot Kreasi Seni
Bandung yang melahirkan nama-nama besar seperti almarhum Harry Roesli
dan Didi Petet. Sekarang bergiat di Rumah Nusantara.
Jose Rizal Manua dengan Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia
dan mendapat banyak penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan,
pendongeng PM Toh dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World
Mime Organisation, penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari
kontemporer,penari topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani
Sawitri, Gita Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang
potehi, wayang pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan
sebagainya.
Ada dua ruang pameran, ruang kreasi, dan tiga panggung yang digunakan
untuk meramaikan festival. Panggung Bale, Panggung Pare, dan Panggung
Eksebisi (Exhibition Hall). Tiap panggung diisi secara bergantian,
sehingga tiap berganti sesi pertunjukan pengunjung harus berpindah
panggung. Bikin heboh dan tidak membosankan.
14325220481791067024
14325220481791067024
Pameran Wayang di Salah Satu Ruang Pamer (Foto: Alee)
Ramah Keluarga
Saya datang ke sana pada hari terakhir. Suasana festival terasa sekali
sangat ramah keluarga. Pagi-pagi di pintu masuk disuguhi pertunjukan
teater dari Majelis Sastra Bandung. Setelah itu Ria Enes di panggung
eksebisi bersama boneka Suzan-nya menyapa para pengunjung.
Ria Enes seorang penyiar radio, pembawa acara, dan pendidik yang popoler
sebagai penyanyi bersama boneka Suzannya pada era 90-an. Album-albumnya
seperti Si Kodok, Kodok dan Semut, Suzan Punya Cita-cita, dan
album-album lainnya meledak di pasaran hingga mendapat beberapa
penghargaan.
14325214241708299905
14325214241708299905
Ria Enes dan Suzan Sedang Mendongeng (Foto: Alee)
Dengan gaya kenesnya, Kak Ria menyapa para pengunjung yang sudah duduk
lesehan di depan panggung. Kursi yang disediakan panitia di panggung
bahkan dibiarkan begitu saja oleh Kak Ria. Semata-mata karena Kak Ria
ingin bisa lebih dekat dengan pengunjung.
“Siapa yang masih ingat sama Boneka Suzan?” tanya Kak Ria mencoba
mengenalkan boneka yang ke mana-mana selalu bersamanya.
Tidak ada yang mengangkat tangan kecuali para orang tua yang seangkatan
dengan masa keemasan Boneka Suzan. Namun Kak Ria tidak menyerah. Dia
mengambil Suzan dari asistennya lalu mengajak ngobrol Suzan.
Suasana yang tadinya agak dingin mendadak bertabur tawa. Anak-anak
terpikat dengan celotehan khas Suzan yang polos, lugu, dan kadang-kadang
nggemesin.
Suasana makin hangat saat Kak Ria dan Suzan mendongeng cerita rakyat Aji
Saka yang memiliki kekuatan pada surbannya. Dongeng ditutup dengan lagu
Suzan Punya Cita-Cita yang diikuti dengan mudah oleh anak-akan.
Acara dilanjutkan di Panggung Bale. Ada pertunjukan Wayang Kancil yang
diisi anak-anak usia Sekolah Dasar dari Padepokan Sarotama. Dalang,
sinden, dan penambuh gendingnya anak-anak, kecuali penabuh gendang.
1432521544797127229
1432521544797127229
Dalang Cilik Memainkan Wayang Kancil (Foto: Alee0
Padepokan Sarotama bermarkas di Gunung Sari, desa kecil di tepian Sungai
Bengawan Solo. Kurang lebih 2 km di sebelah timur Kota Solo. Berkiprah
di bidang seni karawitan dan pedalangan anak sejak tahun 1983. Padepokan
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar di sana.
Acara dilanjutkan di Panggung Pare. I Made Sidia menari beberapa tarian
bali dengan sangat menarik dan menggelitik karena dibumbui dengan
beberapa teatrikal. Nani Sawitri dengan tarian Topeng Losarinya yang
benar-benar memukau.
Terakhir, seorang penari berkebangsaan Belanda membawakan Tari Petani
yang juga tak kalah membuat gelitik dan memukau pengunjung. Anouk Wilke
sendiri lahir dan besar di Belanda. Sejak usia 12 tahun mendalami tari,
terutama balet. Sekolah di akademi tari Lucia Marthas dan tahun 2009
mendapat beasiswa di Institute Seni Indonesia di Yogyakarta. Dengan
keahliannya, Anouk menciptakan koreografi untuk nusantara berjudul
Tumbuh, Bejowo, Debu, dan sebagainya.
1432521663147269881
1432521663147269881
Nani Sawitri Memukau Pengunjung dengan Tari Topeng Losarinya (Foto:
Alee)
1432521727613235087
1432521727613235087
I Made Sidia Berkomukasi dengan Pengunjung (Foto: Alee)
1432521822737728994
1432521822737728994
Anouk Wilke Sangat Luwes Menari (Foto: Alee0
Setelah istirahat pengunjung mengerumuni Panggung Bale. Tarian Topeng
Ireng menghentak suasana yang mulai redup. Topeng Ireng ditarikan oleh
Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Tarian yang mirip tarian indian
tersebut mampu membuat pengunjung berdecak dan ikut bersorak-sorai
menginguti gerakan para penari yang energik.
Acara sore itu ditutup oleh Thomas Herford. Pendiri teater boneka
keliling dengan nama Kabare Pupala. Artis panggung asal German ini
sempat mengikuti berbagai festival boneka international, teater, dan
festival anak-anak di German, Meksiko, Spanyol, Hungaria, Turki, dan
Taiwan.
Apa yang membuat Kabare Pupala dengan Thomas Herford menarik semua
pengunjung? Keahlian dalam berteater dengan boneka. Tahu
panggung-panggung boneka yang memainkan boneka dengan tali? Bedanya,
jika panggung boneka biasanya dalam sebuah kotak, Thomas memainkannya
langsung di panggung terbuka sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan
pengunjung.
1432521946765949349
1432521946765949349
Thomas Herford Sedang Memainkan Boneka Tikusnya (Foto: Alee)
Jangan kan anak-anak, orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya
tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas.
Tak perlu kisah yang berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus
mendapat pengetahuan secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas
beraksi? Kalau belum sayang sekali.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
KALAU mendengar
festival budaya, pasti yang terbayang masa lampau yang tidak modern,
bikin kening berkerut, dan berat. Akan tetapi, tidak dengan Gunungan
International Mask and Puppets Festival atau lebih dikenal Festival
Gunungan yang baru-baru ini diadakan di Bandung. Tepatnya di Balepare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung sejak tanggal 22-24
Mei 2015.
Topeng Ireng dari Magelang Meramaikan Festival Gunungan (Foto: Alee)
Festival yang telah diadakan untuk keempat kalinya ini, selain
mengadakan pameran juga pertunjukan kesenian wayang dan topeng dari
berbagai daerah di Indonesia serta pelaku seni seperti Aat Soeratin,
budayawan yang aktif di berbagai bidang seni sejak tahun 70-an.
Aat yang biasa dipanggil Abah Aat adalah pituin Sunda yang hingga kini
aktif mengisi panggung kesenian di tahan air. Pendiri Depot Kreasi Seni
Bandung yang melahirkan nama-nama besar seperti almarhum Harry Roesli
dan Didi Petet. Sekarang bergiat di Rumah Nusantara.
Jose Rizal Manua dengan Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia
dan mendapat banyak penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan,
pendongeng PM Toh dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World
Mime Organisation, penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari
kontemporer,penari topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani
Sawitri, Gita Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang
potehi, wayang pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan
sebagainya.
Ada dua ruang pameran, ruang kreasi, dan tiga panggung yang digunakan
untuk meramaikan festival. Panggung Bale, Panggung Pare, dan Panggung
Eksebisi (Exhibition Hall). Tiap panggung diisi secara bergantian,
sehingga tiap berganti sesi pertunjukan pengunjung harus berpindah
panggung. Bikin heboh dan tidak membosankan.
14325220481791067024
14325220481791067024
Pameran Wayang di Salah Satu Ruang Pamer (Foto: Alee)
Ramah Keluarga
Saya datang ke sana pada hari terakhir. Suasana festival terasa sekali
sangat ramah keluarga. Pagi-pagi di pintu masuk disuguhi pertunjukan
teater dari Majelis Sastra Bandung. Setelah itu Ria Enes di panggung
eksebisi bersama boneka Suzan-nya menyapa para pengunjung.
Ria Enes seorang penyiar radio, pembawa acara, dan pendidik yang popoler
sebagai penyanyi bersama boneka Suzannya pada era 90-an. Album-albumnya
seperti Si Kodok, Kodok dan Semut, Suzan Punya Cita-cita, dan
album-album lainnya meledak di pasaran hingga mendapat beberapa
penghargaan.
14325214241708299905
14325214241708299905
Ria Enes dan Suzan Sedang Mendongeng (Foto: Alee)
Dengan gaya kenesnya, Kak Ria menyapa para pengunjung yang sudah duduk
lesehan di depan panggung. Kursi yang disediakan panitia di panggung
bahkan dibiarkan begitu saja oleh Kak Ria. Semata-mata karena Kak Ria
ingin bisa lebih dekat dengan pengunjung.
“Siapa yang masih ingat sama Boneka Suzan?” tanya Kak Ria mencoba
mengenalkan boneka yang ke mana-mana selalu bersamanya.
Tidak ada yang mengangkat tangan kecuali para orang tua yang seangkatan
dengan masa keemasan Boneka Suzan. Namun Kak Ria tidak menyerah. Dia
mengambil Suzan dari asistennya lalu mengajak ngobrol Suzan.
Suasana yang tadinya agak dingin mendadak bertabur tawa. Anak-anak
terpikat dengan celotehan khas Suzan yang polos, lugu, dan kadang-kadang
nggemesin.
Suasana makin hangat saat Kak Ria dan Suzan mendongeng cerita rakyat Aji
Saka yang memiliki kekuatan pada surbannya. Dongeng ditutup dengan lagu
Suzan Punya Cita-Cita yang diikuti dengan mudah oleh anak-akan.
Acara dilanjutkan di Panggung Bale. Ada pertunjukan Wayang Kancil yang
diisi anak-anak usia Sekolah Dasar dari Padepokan Sarotama. Dalang,
sinden, dan penambuh gendingnya anak-anak, kecuali penabuh gendang.
1432521544797127229
1432521544797127229
Dalang Cilik Memainkan Wayang Kancil (Foto: Alee0
Padepokan Sarotama bermarkas di Gunung Sari, desa kecil di tepian Sungai
Bengawan Solo. Kurang lebih 2 km di sebelah timur Kota Solo. Berkiprah
di bidang seni karawitan dan pedalangan anak sejak tahun 1983. Padepokan
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar di sana.
Acara dilanjutkan di Panggung Pare. I Made Sidia menari beberapa tarian
bali dengan sangat menarik dan menggelitik karena dibumbui dengan
beberapa teatrikal. Nani Sawitri dengan tarian Topeng Losarinya yang
benar-benar memukau.
Terakhir, seorang penari berkebangsaan Belanda membawakan Tari Petani
yang juga tak kalah membuat gelitik dan memukau pengunjung. Anouk Wilke
sendiri lahir dan besar di Belanda. Sejak usia 12 tahun mendalami tari,
terutama balet. Sekolah di akademi tari Lucia Marthas dan tahun 2009
mendapat beasiswa di Institute Seni Indonesia di Yogyakarta. Dengan
keahliannya, Anouk menciptakan koreografi untuk nusantara berjudul
Tumbuh, Bejowo, Debu, dan sebagainya.
1432521663147269881
1432521663147269881
Nani Sawitri Memukau Pengunjung dengan Tari Topeng Losarinya (Foto:
Alee)
1432521727613235087
1432521727613235087
I Made Sidia Berkomukasi dengan Pengunjung (Foto: Alee)
1432521822737728994
1432521822737728994
Anouk Wilke Sangat Luwes Menari (Foto: Alee0
Setelah istirahat pengunjung mengerumuni Panggung Bale. Tarian Topeng
Ireng menghentak suasana yang mulai redup. Topeng Ireng ditarikan oleh
Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Tarian yang mirip tarian indian
tersebut mampu membuat pengunjung berdecak dan ikut bersorak-sorai
menginguti gerakan para penari yang energik.
Acara sore itu ditutup oleh Thomas Herford. Pendiri teater boneka
keliling dengan nama Kabare Pupala. Artis panggung asal German ini
sempat mengikuti berbagai festival boneka international, teater, dan
festival anak-anak di German, Meksiko, Spanyol, Hungaria, Turki, dan
Taiwan.
Apa yang membuat Kabare Pupala dengan Thomas Herford menarik semua
pengunjung? Keahlian dalam berteater dengan boneka. Tahu
panggung-panggung boneka yang memainkan boneka dengan tali? Bedanya,
jika panggung boneka biasanya dalam sebuah kotak, Thomas memainkannya
langsung di panggung terbuka sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan
pengunjung.
1432521946765949349
1432521946765949349
Thomas Herford Sedang Memainkan Boneka Tikusnya (Foto: Alee)
Jangan kan anak-anak, orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya
tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas.
Tak perlu kisah yang berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus
mendapat pengetahuan secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas
beraksi? Kalau belum sayang sekali.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
KALAU mendengar
festival budaya, pasti yang terbayang masa lampau yang tidak modern,
bikin kening berkerut, dan berat. Akan tetapi, tidak dengan Gunungan
International Mask and Puppets Festival atau lebih dikenal Festival
Gunungan yang baru-baru ini diadakan di Bandung. Tepatnya di Balepare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung sejak tanggal 22-24
Mei 2015.
Topeng Ireng dari Magelang Meramaikan Festival Gunungan (Foto: Alee)
Festival yang telah diadakan untuk keempat kalinya ini, selain
mengadakan pameran juga pertunjukan kesenian wayang dan topeng dari
berbagai daerah di Indonesia serta pelaku seni seperti Aat Soeratin,
budayawan yang aktif di berbagai bidang seni sejak tahun 70-an.
Aat yang biasa dipanggil Abah Aat adalah pituin Sunda yang hingga kini
aktif mengisi panggung kesenian di tahan air. Pendiri Depot Kreasi Seni
Bandung yang melahirkan nama-nama besar seperti almarhum Harry Roesli
dan Didi Petet. Sekarang bergiat di Rumah Nusantara.
Jose Rizal Manua dengan Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia
dan mendapat banyak penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan,
pendongeng PM Toh dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World
Mime Organisation, penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari
kontemporer,penari topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani
Sawitri, Gita Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang
potehi, wayang pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan
sebagainya.
Ada dua ruang pameran, ruang kreasi, dan tiga panggung yang digunakan
untuk meramaikan festival. Panggung Bale, Panggung Pare, dan Panggung
Eksebisi (Exhibition Hall). Tiap panggung diisi secara bergantian,
sehingga tiap berganti sesi pertunjukan pengunjung harus berpindah
panggung. Bikin heboh dan tidak membosankan.
14325220481791067024
14325220481791067024
Pameran Wayang di Salah Satu Ruang Pamer (Foto: Alee)
Ramah Keluarga
Saya datang ke sana pada hari terakhir. Suasana festival terasa sekali
sangat ramah keluarga. Pagi-pagi di pintu masuk disuguhi pertunjukan
teater dari Majelis Sastra Bandung. Setelah itu Ria Enes di panggung
eksebisi bersama boneka Suzan-nya menyapa para pengunjung.
Ria Enes seorang penyiar radio, pembawa acara, dan pendidik yang popoler
sebagai penyanyi bersama boneka Suzannya pada era 90-an. Album-albumnya
seperti Si Kodok, Kodok dan Semut, Suzan Punya Cita-cita, dan
album-album lainnya meledak di pasaran hingga mendapat beberapa
penghargaan.
14325214241708299905
14325214241708299905
Ria Enes dan Suzan Sedang Mendongeng (Foto: Alee)
Dengan gaya kenesnya, Kak Ria menyapa para pengunjung yang sudah duduk
lesehan di depan panggung. Kursi yang disediakan panitia di panggung
bahkan dibiarkan begitu saja oleh Kak Ria. Semata-mata karena Kak Ria
ingin bisa lebih dekat dengan pengunjung.
“Siapa yang masih ingat sama Boneka Suzan?” tanya Kak Ria mencoba
mengenalkan boneka yang ke mana-mana selalu bersamanya.
Tidak ada yang mengangkat tangan kecuali para orang tua yang seangkatan
dengan masa keemasan Boneka Suzan. Namun Kak Ria tidak menyerah. Dia
mengambil Suzan dari asistennya lalu mengajak ngobrol Suzan.
Suasana yang tadinya agak dingin mendadak bertabur tawa. Anak-anak
terpikat dengan celotehan khas Suzan yang polos, lugu, dan kadang-kadang
nggemesin.
Suasana makin hangat saat Kak Ria dan Suzan mendongeng cerita rakyat Aji
Saka yang memiliki kekuatan pada surbannya. Dongeng ditutup dengan lagu
Suzan Punya Cita-Cita yang diikuti dengan mudah oleh anak-akan.
Acara dilanjutkan di Panggung Bale. Ada pertunjukan Wayang Kancil yang
diisi anak-anak usia Sekolah Dasar dari Padepokan Sarotama. Dalang,
sinden, dan penambuh gendingnya anak-anak, kecuali penabuh gendang.
1432521544797127229
1432521544797127229
Dalang Cilik Memainkan Wayang Kancil (Foto: Alee0
Padepokan Sarotama bermarkas di Gunung Sari, desa kecil di tepian Sungai
Bengawan Solo. Kurang lebih 2 km di sebelah timur Kota Solo. Berkiprah
di bidang seni karawitan dan pedalangan anak sejak tahun 1983. Padepokan
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar di sana.
Acara dilanjutkan di Panggung Pare. I Made Sidia menari beberapa tarian
bali dengan sangat menarik dan menggelitik karena dibumbui dengan
beberapa teatrikal. Nani Sawitri dengan tarian Topeng Losarinya yang
benar-benar memukau.
Terakhir, seorang penari berkebangsaan Belanda membawakan Tari Petani
yang juga tak kalah membuat gelitik dan memukau pengunjung. Anouk Wilke
sendiri lahir dan besar di Belanda. Sejak usia 12 tahun mendalami tari,
terutama balet. Sekolah di akademi tari Lucia Marthas dan tahun 2009
mendapat beasiswa di Institute Seni Indonesia di Yogyakarta. Dengan
keahliannya, Anouk menciptakan koreografi untuk nusantara berjudul
Tumbuh, Bejowo, Debu, dan sebagainya.
1432521663147269881
1432521663147269881
Nani Sawitri Memukau Pengunjung dengan Tari Topeng Losarinya (Foto:
Alee)
1432521727613235087
1432521727613235087
I Made Sidia Berkomukasi dengan Pengunjung (Foto: Alee)
1432521822737728994
1432521822737728994
Anouk Wilke Sangat Luwes Menari (Foto: Alee0
Setelah istirahat pengunjung mengerumuni Panggung Bale. Tarian Topeng
Ireng menghentak suasana yang mulai redup. Topeng Ireng ditarikan oleh
Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Tarian yang mirip tarian indian
tersebut mampu membuat pengunjung berdecak dan ikut bersorak-sorai
menginguti gerakan para penari yang energik.
Acara sore itu ditutup oleh Thomas Herford. Pendiri teater boneka
keliling dengan nama Kabare Pupala. Artis panggung asal German ini
sempat mengikuti berbagai festival boneka international, teater, dan
festival anak-anak di German, Meksiko, Spanyol, Hungaria, Turki, dan
Taiwan.
Apa yang membuat Kabare Pupala dengan Thomas Herford menarik semua
pengunjung? Keahlian dalam berteater dengan boneka. Tahu
panggung-panggung boneka yang memainkan boneka dengan tali? Bedanya,
jika panggung boneka biasanya dalam sebuah kotak, Thomas memainkannya
langsung di panggung terbuka sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan
pengunjung.
1432521946765949349
1432521946765949349
Thomas Herford Sedang Memainkan Boneka Tikusnya (Foto: Alee)
Jangan kan anak-anak, orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya
tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas.
Tak perlu kisah yang berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus
mendapat pengetahuan secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas
beraksi? Kalau belum sayang sekali.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
KALAU mendengar
festival budaya, pasti yang terbayang masa lampau yang tidak modern,
bikin kening berkerut, dan berat. Akan tetapi, tidak dengan Gunungan
International Mask and Puppets Festival atau lebih dikenal Festival
Gunungan yang baru-baru ini diadakan di Bandung. Tepatnya di Balepare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung sejak tanggal 22-24
Mei 2015.
Topeng Ireng dari Magelang Meramaikan Festival Gunungan (Foto: Alee)
Festival yang telah diadakan untuk keempat kalinya ini, selain
mengadakan pameran juga pertunjukan kesenian wayang dan topeng dari
berbagai daerah di Indonesia serta pelaku seni seperti Aat Soeratin,
budayawan yang aktif di berbagai bidang seni sejak tahun 70-an.
Aat yang biasa dipanggil Abah Aat adalah pituin Sunda yang hingga kini
aktif mengisi panggung kesenian di tahan air. Pendiri Depot Kreasi Seni
Bandung yang melahirkan nama-nama besar seperti almarhum Harry Roesli
dan Didi Petet. Sekarang bergiat di Rumah Nusantara.
Jose Rizal Manua dengan Teater Tanah Air-nya yang telah keliling dunia
dan mendapat banyak penghargaan International. Musisi Dwiki Dharmawan,
pendongeng PM Toh dari Aceh, Wanggi Hoed seniman pantomim dari World
Mime Organisation, penari muda yang mampu mewakili perkembangan tari
kontemporer,penari topeng I Made Sidia dari Bali, penari topeng Nani
Sawitri, Gita Kinanthiwayang kulit, wayang golek, wayang kancil, wayang
potehi, wayang pring, wayang sampah, wayang hihid, wayang jurnalis, dan
sebagainya.
Ada dua ruang pameran, ruang kreasi, dan tiga panggung yang digunakan
untuk meramaikan festival. Panggung Bale, Panggung Pare, dan Panggung
Eksebisi (Exhibition Hall). Tiap panggung diisi secara bergantian,
sehingga tiap berganti sesi pertunjukan pengunjung harus berpindah
panggung. Bikin heboh dan tidak membosankan.
14325220481791067024
14325220481791067024
Pameran Wayang di Salah Satu Ruang Pamer (Foto: Alee)
Ramah Keluarga
Saya datang ke sana pada hari terakhir. Suasana festival terasa sekali
sangat ramah keluarga. Pagi-pagi di pintu masuk disuguhi pertunjukan
teater dari Majelis Sastra Bandung. Setelah itu Ria Enes di panggung
eksebisi bersama boneka Suzan-nya menyapa para pengunjung.
Ria Enes seorang penyiar radio, pembawa acara, dan pendidik yang popoler
sebagai penyanyi bersama boneka Suzannya pada era 90-an. Album-albumnya
seperti Si Kodok, Kodok dan Semut, Suzan Punya Cita-cita, dan
album-album lainnya meledak di pasaran hingga mendapat beberapa
penghargaan.
14325214241708299905
14325214241708299905
Ria Enes dan Suzan Sedang Mendongeng (Foto: Alee)
Dengan gaya kenesnya, Kak Ria menyapa para pengunjung yang sudah duduk
lesehan di depan panggung. Kursi yang disediakan panitia di panggung
bahkan dibiarkan begitu saja oleh Kak Ria. Semata-mata karena Kak Ria
ingin bisa lebih dekat dengan pengunjung.
“Siapa yang masih ingat sama Boneka Suzan?” tanya Kak Ria mencoba
mengenalkan boneka yang ke mana-mana selalu bersamanya.
Tidak ada yang mengangkat tangan kecuali para orang tua yang seangkatan
dengan masa keemasan Boneka Suzan. Namun Kak Ria tidak menyerah. Dia
mengambil Suzan dari asistennya lalu mengajak ngobrol Suzan.
Suasana yang tadinya agak dingin mendadak bertabur tawa. Anak-anak
terpikat dengan celotehan khas Suzan yang polos, lugu, dan kadang-kadang
nggemesin.
Suasana makin hangat saat Kak Ria dan Suzan mendongeng cerita rakyat Aji
Saka yang memiliki kekuatan pada surbannya. Dongeng ditutup dengan lagu
Suzan Punya Cita-Cita yang diikuti dengan mudah oleh anak-akan.
Acara dilanjutkan di Panggung Bale. Ada pertunjukan Wayang Kancil yang
diisi anak-anak usia Sekolah Dasar dari Padepokan Sarotama. Dalang,
sinden, dan penambuh gendingnya anak-anak, kecuali penabuh gendang.
1432521544797127229
1432521544797127229
Dalang Cilik Memainkan Wayang Kancil (Foto: Alee0
Padepokan Sarotama bermarkas di Gunung Sari, desa kecil di tepian Sungai
Bengawan Solo. Kurang lebih 2 km di sebelah timur Kota Solo. Berkiprah
di bidang seni karawitan dan pedalangan anak sejak tahun 1983. Padepokan
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar di sana.
Acara dilanjutkan di Panggung Pare. I Made Sidia menari beberapa tarian
bali dengan sangat menarik dan menggelitik karena dibumbui dengan
beberapa teatrikal. Nani Sawitri dengan tarian Topeng Losarinya yang
benar-benar memukau.
Terakhir, seorang penari berkebangsaan Belanda membawakan Tari Petani
yang juga tak kalah membuat gelitik dan memukau pengunjung. Anouk Wilke
sendiri lahir dan besar di Belanda. Sejak usia 12 tahun mendalami tari,
terutama balet. Sekolah di akademi tari Lucia Marthas dan tahun 2009
mendapat beasiswa di Institute Seni Indonesia di Yogyakarta. Dengan
keahliannya, Anouk menciptakan koreografi untuk nusantara berjudul
Tumbuh, Bejowo, Debu, dan sebagainya.
1432521663147269881
1432521663147269881
Nani Sawitri Memukau Pengunjung dengan Tari Topeng Losarinya (Foto:
Alee)
1432521727613235087
1432521727613235087
I Made Sidia Berkomukasi dengan Pengunjung (Foto: Alee)
1432521822737728994
1432521822737728994
Anouk Wilke Sangat Luwes Menari (Foto: Alee0
Setelah istirahat pengunjung mengerumuni Panggung Bale. Tarian Topeng
Ireng menghentak suasana yang mulai redup. Topeng Ireng ditarikan oleh
Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Tarian yang mirip tarian indian
tersebut mampu membuat pengunjung berdecak dan ikut bersorak-sorai
menginguti gerakan para penari yang energik.
Acara sore itu ditutup oleh Thomas Herford. Pendiri teater boneka
keliling dengan nama Kabare Pupala. Artis panggung asal German ini
sempat mengikuti berbagai festival boneka international, teater, dan
festival anak-anak di German, Meksiko, Spanyol, Hungaria, Turki, dan
Taiwan.
Apa yang membuat Kabare Pupala dengan Thomas Herford menarik semua
pengunjung? Keahlian dalam berteater dengan boneka. Tahu
panggung-panggung boneka yang memainkan boneka dengan tali? Bedanya,
jika panggung boneka biasanya dalam sebuah kotak, Thomas memainkannya
langsung di panggung terbuka sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan
pengunjung.
1432521946765949349
1432521946765949349
Thomas Herford Sedang Memainkan Boneka Tikusnya (Foto: Alee)
Jangan kan anak-anak, orangtua yang melihatnya pun tak henti-hentinya
tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku boneka yang dimainkan Thomas.
Tak perlu kisah yang berbelit, pengunjung merasa terhibur sekaligus
mendapat pengetahuan secara tidak langsung. Sudah pernah melihat Thomas
beraksi? Kalau belum sayang sekali.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ali.muakhir/festival-gunungan-festival-budaya-yang-ramah-keluarga_55628f0fb39373e176147c0a
0 comments:
Post a Comment